"Move on" tapi nggak "Move on"
Natal kemarin itu tepat tiga tahun aku tinggal di Sangen, where my family root begin. Sebuah desa di pinggiran kota Solo diapit oleh waduk cengklik dan Bandara internasional Adi Sumarmo. Awalnya, Aku ngerasa susah banget beradaptasi dengan perbedaan yang sangat dramatis dari tempat tinggalku yang sebelumnya. Sejak aku lahir sampai umur 16 tahun, aku tinggal di sebuah perkampungan padat penduduk yang berada di daerah Jebres, Solo. Lumayan deket sama pusat-pusat keramaian kota Solo, akses jalannya mudah dan gak bisa banjir (ciri-ciri overdosis iklan pperumahan). Aku nggak bisa bayangin gimana hidupku di tempat baru nanti, apa aku nanti bisa beradaptasi dengan baik sama semua yang ada disana? perasaan kaya gini bener-bener something new buat aku, mungkin buat orang yang udah biasa ngalami “pindahan” udah nggak bisa ngerasain sensasi meledak-ledak seperti itu. Apalagi aku tau tempat kaya gimana yang bakal jadi tempat tinggalku nanti. Sebuah Desa yang kurang mendapat perhatian pemerintah daerahnya, yang nggak bisa diakomodasi pake kendaraan umum, yang akses jalannya kaya ampyang (tau dong ampyang) dan asli gelap banget kalo malem, yang jauh banget dari tukang bakso, oh men….deket bandara internasional ada tempat kaya di laskar pelangi. Singkatnya sih itu bener-bener beda jauh sama tempat tinggalku yang sebelumnya.
Sebenernya, aku gak asing-asing banget sama Sangen, minimal sebulan sekali aku kesana buat jengukin embah putri sama kakung. Disana kedua orangtuaku lahir (FYI, bapak ibuk adalah tetangga), tumbuh, belajar, dan mungkin nanti akan jadi tempat mereka menikmati masa tua. Ada banyak alasan yang bikin aku sempet gak setuju banget sama ide buat pindah rumah.
Pertama, aku udah terbiasa hidup di tempat yang malam sekalipun gak pernah sepi, berbagai macam suara di luar bisa kedengeran sampai ke rumah. Suara klakson bus malam atau suara kereta yang lewat di stasiun kadang bisa menenangkan kalau aku lagi gak bisa tidur, aku gak mungkin ngerasa sendirian. Dan itu gak mungkin bisa aku nikmati lagi sekarang,
I miss that moment, when I closed my eyes, thought deep and just heard.
Kedua, seumur hidup aku tinggal disana, tumbuh bareng sama orang-orang yang sama, merasa terlindungi. Aku takut keluar dari zona nyaman itu, takut sama pandangan orang lain diluar sana.
Ketiga, waktu itu aku lagi ada emh..emmhh… “pacar” yang udah lumayan lama bareng sama aku. Biasanya, si pacar bakal sering-sering jemput kalau berangkat sekolah, sering-sering main ke rumah, aksesnya mudah, lancar dan murah.hahahaha. Kalau pindah ke luar kota, gimana kelanjutan kisah ini? Masalah utama kita berdua waktu itu adalah “jarak”.
Pada akhirnya, aku emang udahan sama si pacar. Tapi bukan karena jarak rumah kita yang terlalu jauh, kita dengan mudah bisa lulus soal “jarak rumah”. Tapi karena kasta. Kasta kita yang jaraknya terlalu jauh sampai kita terpaksa menyerah, prinsip hubungan yang sudah gak bisa sejalan dan banyak hal lainnya yang terlalu complicated buatku.
Sekarang, aku sudah menerima keadaan desa ini, aku udah biasa mengarungi jalanan antar kota. Aku mulai mengenal teman-teman baru, dan pemandangan baru yang gak mungkin aku dapetin di tempat lain. Lihai berbelok dan berkelit diantara jalanan beraspal yang mengelupas disana-sini serta gelap gulita. Berdamai dengan suara-suara serangga di malam hari. Aku mulai menikmatinya.
Kalau move on dari lingkungan yang udah seumur hidup aku tinggali dan tumbuh disana aja aku bisa, tapi kenapa move on dari Kamu yang cuma 2 tahun aku tinggali aja butuh waktu lebih lama….??
Komentar
Posting Komentar